SELAMAT DATANG DI BLOG "NURHADI RACHMAN"

Selasa, 01 Januari 2013

Perkembangan Dunia Maya Bagi Indonesia

Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber ( cyberspace ) tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika, dimanakah (dan kapan) sebenarnya transaksi terjadi? Hukum mana yang digunakan?
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen “asli” dan “salinan” memiliki fitur yang sama. Jadi mana dokumen yang “asli”? Apakah dokumen yang ada di disk saya? Atau yang ada di memori komputer saat ini? Atau dokumen yang ada di CD-ROM atau flash disk? Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan digitized signature ? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hukum?
Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar , digital dignature , digital certificate dapat digunakan sebagai identitas (dengan tingkat keamanan yang berbeda-beda tentunya)?
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruang cyber, sebuah cyberlaw? Jika dibuat sebuah hukum baru, manakah batas teritorinya? Riil atau virtual? Apakah hukum ini hanya berlaku untuk cybercommunity – komunitas orang di dunia cyber yang memiliki kultur, etika, dan aturan sendiri – saja? Bagaimana jika efek atau dampak dari (aktivitas di) dunia cyber ini dirasakan oleh komunitas di luar dunia cyber itu sendiri?
Atau apakah kita dapat menggunakan dan menyesuaikan hukum yang sudah ada saat ini?
Kata “ cyber ” berasal dari “ cybernetics ,” yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah “total control.” Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.

Perkembangan Cyberlaw di Indonesia

Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.
Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce ( e-commerce ), electronic procurement ( e-procurement ), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
     Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia . Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya ( cybercrime ), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking , membocorkan password, electronic banking , pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas cracking nya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.

PENGURANGAN BBM BERSUBSIDI

 


saya cukup tertarik dengan wacana yang di terbitkan dalam harian elektronik di atas, mereka membahas tentang PENGURANGAN BBM yang BERSUBSIDI, berikut artikelnya:

"VIVAnews – PDI Perjuangan tak sepakat dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Partai berlambang kepala banteng itu berpendapat asumsi pemerintah keliru jika menganggap APBN bakal jebol jika harga BBM tidak dinaikkan.

“Subsidi BBM dari tahun ke tahun memang turun. Jadi, asumsi pemberian subsidi BBM akan membuat jebol APBN itu tak masuk akal,” ujar Sekretaris Fraksi PDIP, Bambang Wuryanto, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu 29 Februari 2012.

Anggapan pemerintah bahwa subsidi BBM selama ini tidak tepat sasaran, menurut PDIP juga tidak benar. “Subsidi BBM sudah benar. Jadi, jangan pakai alasan itu salah sasaran untuk mengurangi subsidinya,” tegas Bambang.

Hal senada disampaikan oleh anggota Komisi Energi DPR dari Fraksi PDIP, Daryatmo Mardiyanto. Menurut Daryatmo, masyarakat tidak bisa diposisikan sebagai pihak yang bersalah dalam konsumsi BBM.
“Sebagian besar subsidi premium dikonsumsi oleh masyarakat kelas menengah dan bawah. Jadi, postur APBN menempatkan masyarakat dalam posisi sebagai pihak tertuduh yang menghabiskan energi,” kata dia.

Daryatmo mengatakan, dokumen Bank Dunia yang dipegang oleh PDIP tentang skenario pengurangan subsidi BBM menunjukkan bahwa dari total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi oleh sepeda motor, sedangkan yang untuk mobil hanya 36 persen.

“Mengingat sebagian besar pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, maka berarti selama ini bagian terbesar subsidi premium sebanyak 64 persen dikonsumsi oleh kelas menengah dan bawah, dan itu bukan kelompok kaya,” kata Daryatmo.

Selanjutnya, dari 34 persen premium yang menurut Bank Dunia dikonsumsi mobil, tim kajian Fraksi PDIP mengkajinya dan menemukan bahwa sebagian besar premium untuk mobil itu dikonsumsi oleh rumah tangga kelas menengah bawah. Kesimpulan ini didasarkan fakta bahwa sebagian besar mobil di Indonesia adalah mobil dengan volume silinder kecil, yaitu kurang dari 1.500 cc.

Data Susenas BPS, menurut Daryatmo, juga menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh masyarakat miskin dan menengah bawah yang rata-rata pengeluaran per kapitanya kurang dari US$4. Sebanyak 29 persen di dalamnya bahkan dikonsumsi oleh kelompok miskin yang pengeluaran per kapitanya kurang dari US$2.

Atas dasar itulah, PDIP menilai usulan pemerintah mengenai pengurangan subsidi BBM tidak layak dikemukakan. Data primer dari survei yang dilakukan tim Fraksi PDIP, Bambang melanjutkan, juga memperkuat kajian bahwa subsidi BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah.

Data survei PDIP menunjukkan bahwa kelompok responden rumah tangga dengan tingkat pendapatan kurang dari Rp2 juta yang mengonsumsi BBM premium sebanyak 41,8 persen. Sementara itu, kelompok pendapatan Rp2-3,5 juta yang mengonsumsi premium sebanyak 33,2 persen, kelompok berpendapatan Rp3-5,5 juta sebanyak 23,6 persen, dan kelompok berpendapatan lebih dari Rp5,5 juta dengan konsumsi premium hanya 1,4 persen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pekan lalu memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi akan naik. Alasannya, harga minyak mentah dunia juga naik. Ini membuat asumsi harga minyak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 harus disesuaikan. “Harga BBM mau tidak mau mesti disesuaikan dengan kenaikan yang tepat,” tegas SBY. (art)"


banyak pihak yang mungkin memang tidak setuju dengan rencana pemerintah yang akan mengurangi pasokan" BBM rakyat" itu,  bagaimana tidak di mulai dengan harga minyak tanah yang melambung naik dan sekarang akan di susul dengan harga BBM yang kemungkinan akan naik dan jatahnya akan semakin berkurang.